Sabtu, 28 April 2012

Sasando, Indonesia music Traditional

Tak banyak yang tahu musik etnis Sasando ternyata disukai sekelompok penikmat musik khas Indonesia di Australia dan Eropa. Tapi, di Indonesia sendiri, dari 200 juta lebih penduduknya, banyak yang belum paham apa itu musik sasando. 

Bagi masyarakat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, tempat asal usul musik sasando, musik tersebut sangat dikenal sebagai musik keseharian. Musik itu berbahan Baku daun pohon lontar. Di Pulau Rote, pohon lontar pada saat ini bukan saja dijadikan sumber kehidupan karena menghasilkan tuak, sopi, gula lempeng, gula semut, wadah pembungkus tembakau/rokok, tikar, haik, sandal, topi, atap rumah, dan balok bahan bangunan, melainkan lebih dari itu dianggap punya nilai lebih karena daun pohon lontar makin sering dijadikan resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasandu atau sasando.

Asal mula alat musik langka itu, menurut banyak tokoh adat di Pulau Rote, telah dikenali sejak Rote menjadi bagian dari daerah kerajaan. Dalam legenda memang muncul banyak versi mengenai sejarah munculnya sasando. Konon, awalnya adalah ketika seorang pemuda bernama Sangguana terdampar di Pulau Ndana saat pergi melaut. Ia dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana. Selama tinggal di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri pun terpikat. Ia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah bentuk maupun suaranya.

Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan, dan Sangguana menjawab, "Sari Sandu". Alat musik itu pun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hitu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar.

Keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, sasando adalah alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat berduka, menambah keceriaan saat bersukacita, serta sebagai hiburan pribadi. Kini musik sasando dikenal sebagai alat musik yang menghasilkan melodi terindah dari Pulau Rote.

Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi, tanpa chord (kunci), senar sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan memainkan accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi melodi, bass, dan accord sekaligus.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Melingkar dari atas ke bawah tabung adalah ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) direntangkan dan bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Tabung sasando ini diletakkan dalam sebuah wadah setengah melingkar terbuat dari daun pohon gebang (semacam lontar) yang menjadi tempat resonansi sasando. Hingga kini, semua bahan yang dipakai untuk membuat sasando terbuat dari bahan alami, kecuali senar dari kawat halus.

Jenis-jenis sasando dibedakan dari jumlah senarnya, yaitu sasando engkel (dengan 28 dawai), sasando dobel (dengan 56 dawai, atau 84 dawai), sasando gong atau sasando haik, dan sasando biola. Karena itu, bunyi sasando sangat bervariasi. Hampir semua jenis musik bisa dimainkan dengan sasando, seperti musik tradisional, pop, slow rock, bahkan dangdut. Ada kalanya perbedaan pada cara permainan tipe sasando tertentu tergantung gaya permainan di tiap daerah, kemampuan pemain dan tidak adanya sistem notasi musik, khususnya untuk sasando gong.

Terdapat dua jenis ensembel sasando, yaitu yang terdapat di Pulau Rote, di mana sasando dimainkan untuk mengiringi nyanyian dan tabuhan gendang. Sedangkan di Pulau Sabu, dua buah sasando dimainkan bersamaan dengan iringan vokal, tetapi tanpa gendang. Dengan bentuknya dan bahan bakunya yang sederhana itu, tak aneh jika warga Australia dan Portugis setiap berkunjung ke NTT selalu membeli sasando. Musik itu kemudian menjadi musik kebanggaan di NTT.



MASTER SASANDO INDONESIA , OM JEREMIAS O PAH
Menyebut nama Oom Pah, boleh jadi Anda merasa belum familiar.  Tapi saat bibirnya menyanyikan syair, ‘Bolelebo, ita nusa lelebo' sembari jemarinya ‘menari' lincah di atas sebuah instrumen musik dari daun lontar, Anda akan teringat pada alat musik khas Timor; Sasando.


Nama Jeremias August Pah -saat ini berusia 68- atau lebih akrab disapa Oom Pah memang tak terpisahkan dari Sasando.  Peranti instrumen petik dari Pulau Rote.


Pria bersahaja ini tinggal di Oebelo, sekitar 25 km dari Kupang, ibukota Timor Barat di kawasan Nusa Tenggara Timur.  Pada sebuah rumah sederhana yang sekaligus berfungsi sebagai workshop. 


Bagi saya dan ibunda tercinta yang baru-baru ini berkunjung ke Timor, jumpa Oom Pah kami kategorikan sebagai dream comes true.  Meski di negeri sendiri namanya tidak bergaung sedemikian kencang, di mancanegara ia mampu menggetarkan hati para pendengarnya.



Reputasi terbaru beliau adalah diundang ke Jepang pada tahun lalu [2006] untuk memperdengarkan keandalannya dalam memetik Sasando.


Sebagai maestro Sasando, Oom Pah juga menciptakan pembaruan Sasando dalam jumlah senar.  Sekaligus memasukkan unsur elektrik yang mulai ia perdengarkan pada tahun 1986.  "Dari 10 senar, menjadi 24, 28 hingga 32," tukasnya seraya memetik Sasando tercinta. 

Sayangnya, "Anak-anak muda sekitar sini sudah jarang yang bisa petik Sasando," ujar pria yang kesehariannya lebih suka menggunakan pakaian tradisional itu.  "Jumlahnya bisa dihitung jari!"


Ironisnya, permintaan instrumen justru datang dari Jepang dan Amerika Serikat.  "Padahal kalau dibilang bakat, orang sini [Pulau Rote dan Timor] pasti lebih akrab dengan Sasando.  Tapi orang luar [luar negeri], walau tidak bisa tetap saja punya keingintahuan besar; bagaimana cara Sasando dipetik agar bisa menghasilkan nada."


Itu sebabnya, ia begitu bersyukur saat salah satu putranya, Jitron mewarisi kebisaannya bermain Sasando.  Oom Pah berharap, keberadaan Sasando dan pemain peralatan musik ini dari Indonesia tak akan punah di kemudian hari.


Bukan itu saja, diam-diam saya berdoa, agar instrumen ini ‘tetap milik Indonesia' alias tidak dipatenkan jadi peranti musik dan kesenian negeri lain, seperti yang terjadi pada gamelan dan batik.


sumber :
wikimu
indonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar